Langsung ke konten utama

MAAF, INI BUKAN SALAH KITA…..

Dapat WA dari seorang kawan anak psikologi UI, isinya seperti ini :)
---
BPJS dzolim..!! (Tulisan curhat seorang dokter)

gambar liputan6[dot]comAkhirnya, yang saya takutkan terjadi juga. Saya ‘harus’ bertemu dengan pasien BPJS, yang ternyata adalah istri dari seorang teman sejawat dokter umum. Pasien primigravida, datang jam setengah empat sore ke UGD dengan keluhan ketuban pecah dan letak lintang.

Pasien tidak pernah ANC di saya. Setelah dihitung, usia kehamilannya masih sekitar 35 minggu. ANC terakhir adalah sebulan yang lalu di SpOG yang lain.

Dari anamnesis, ternyata si pasien punya riwayat gula darah tinggi. Itu saja yang bisa saya gali (sungguh hal tidak  menyenangkan bagi seorang SpOG bila ‘kedatangan” pasien yang tidak pernah ANC kepadanya ok harus meraba2 masalah pada pasien).
Dan episode berikutnya, adalah episode2 yang harus membuat saya menangis tak terperikan dalam hati. Pasien saya rencanakan SC cito. Pertanyaan yang pedih ketika dokter jaga menghubungi saya,”dokter mau mengerjakan pasien BPJS?”.

Pedih, karena semua sejawat SpOG pasti tahu nominal biaya paket SC. Sekitar 3-4 juta. Itu total Jenderal, sudah termasuk sewa OK, obat bius, benang benang jahit, perawatan di ruangan, infus dan obat di ruangan. Lalu berapa  honor yang harus diterima seorang SpOG? Tergantung. Yah, tergantung sisa hal2 di atas. Bisa saja cuma 60 ribu
seperti yang pernah dialami sejawat saya.

Tapi, bukan itu yang membuat saya pedih. Toh, selama ini, kami para dokter sudah biasa mendiskon pasien, menggratiskan pasien dll. Yang membuat pedih adalah pertanyaan itu. Ini soal hati nurani. Apa mungkin saya menjawab tidak??? Pedih berikutnya, adalah ketika saya harus menunggu satu jam lebih untuk mendapatkan kepastian jadi tidaknya pasien ini operasi.

Katanya, masih menunggu proses administrasi BPJS yang katanya online nya sedang lemot. Dan benar2 hati saya  harus deg2an bercampur pedih itu tadi. Mau menunggu sampai kapan.Sampai jadi kasus kasep? Sementara urusan
administrasi bukan wewenang kami para dokter. Setelah dengan sedikit pemaksaan, pasien akhirnya bisa sampai di kamar operasi. Lagi2 saya harus pedih.

Berdua dengan sejawat anestesi, kami harus berhemat luar biasa. Saya sibuk berhemat benang, dan dia sibuk  memilihkan obat bius yang murah meriah. Aduhai, operasi yang sama sekali tidak indah buat saya…. Selesaikah pedih saya? Ternyata belum.

Pasca operasi, saya dihubungi apotek. “Dok maaf, obat nyeri nya tidak ditanggung, obat untuk mobilitas usus juga tidak ditanggung,” hiks….Apakah kami para dokter ini jadi dipaksa bekerja di bawah standar oleh pemerintah?

Dan, saya pun ikut merasakan betapa pasien masih merasakan kesakitan pasca SC. Sungguh, maaf, ini bukan salah kita, pasien ku sayang…. Bahkan, obat nyeri yang oral pun terpaksa bukan yang biasa kami berikan. Pedih dan perih hati kami.

Seperti inikah pengobatan gratis yang dijanjikan oleh Pemerintah? (Tapi sebenarnya tidak gratis bagi PNS, karyawan, buruh dan orang mampu yang nanti dipaksa ikut BPJS). Kami harus bekerja dengan pengobatan ala kadarnya yang membuat kesedihan luar biasa bagi kami.

Kami merindukan pasien2 tersenyum bahagia. Dan…kepedihan yang paling2 pedih adalah harus menghadapi  kenyataan bahwa malam ini, pasien BPJS saya adalah istri seorang sejawat dokter umum yang tercatat sebagai PNS di sebuah Puskesmas.

Bayangkan, seorang ujung tombak lini depan pelayan kesehatan yang notabene pekerja Pemerintah, harus mendapatkan pelayanan BPJS seperti ini. Dan…menangisl ah saya, karena kalau BPJS tetap berjalan seperti ini, bukannya tidak mungkin, saya dan kita semua akan mengalami hal yang sama dengan istri sejawat saya ini.

Karena kelak, BPJS ini wajib untuk semua rakyat dan semua RS. Karena pemerintah pun menjadi tukang paksa bagi seluruh isi negerinya..,,Ra kyat dipaksa ikut BPJS, karyawan swasta harus ikut BPJS, seluruh RS wajib melayani BPJS dan dokter pun harus melayani sesuai standar BPJS yang ala kadarnya… Maaf, tapi ini bukan salah kita….

Copas dr TS SpOG.di RS…..
Ya Allah…. kedzaliman macam apa ini?????
Nakes uda dibuat tertekan, menekan nuraninya utk menolong sesama….
Rakyat uda dijadikn korban sedemukian rupa…..

Artikel: Ari Kurnianingsih
---
Komentar kakbayu: Artikel copas yang disebarkan melalui jejaring sosial, tentu benar salahnya masih harus dibuktikan lagi, namun setidaknya kita masih bisa mengambil pelajaran dari tulisan diatas.

Baca Juga

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pengalaman Nonton Ayat-ayat Cinta

Coz webnya kakbayu nggak bisa dibuka ya udah jadinya saya krm in email aja, saya mo cerita nich... Hari jumat yang lalu saya nonton ayat2 cinta bareng ama temen, dan Subhanalloh, mata saya bengkak gedhe banget sekeluarnya dari bioskop, dan bengkak itu 2 hari baru bisa kempes, he he he he he. Sebenarnya saya nangis bukan karena jalan ceritanya, bukan karena Fahri yang begitu sempurna seperti halnya Aisha baik agama maupun hati dan akhlaknya, bukan juga karena nasib Maria yang begitu malang. Tapi ada dua adegan yang sampai sekarang kalo diinget saya masih tetep nangis.

Begini cara hitung skor PPDB Zonasi Sekolah Dasar Negeri Kota Depok Tahun 2024

Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) Kota Depok tahun ini rupanya berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya. Dimana pada tahun 2024 ini PPDB dilaksanakan secara terintegrasi dari TK Negeri, SD Negeri dan SMP Negeri. Tahun ini pun persyaratan Kartu Keluarga (KK) Kota Depok yang terbitnya setidaknya sudah 1 (satu) tahun pun menjadi persyaratan mutlak. Tujuannya tentu saja menyaring agar calon peserta didik yang mendaftar di sekolah negeri dibawah Dinas Pendidikan Kota Depok adalah benar-benar warga Depok, yang telah memiliki KK dan tinggal di Depok setidaknya 1 (satu) tahun. Jika tidak, maka tombol opsi untuk melakukan pendaftaran tidak dapat di tekan. Tujuannya memang positif, dimana Dinas Pendidikan Kota Depok memberikan prioritas kepada warga Depok untuk dapat bersekolah di kotanya sendiri dan sekolah yang dekat dari tempat tinggalnya sesuai KK. Namun dampaknya untuk Sekolah Dasar Negeri banyak calon peserta didik yang berusia 7 (tujuh) tahun keatas tidak dapat masuk sekolah dikarenakan K...

Guru Malas Menulis, Murid Malas Membaca: Tantangan dan Solusi Pendidikan

Dalam era digital yang serba cepat ini, dunia pendidikan menghadapi tantangan baru yang tak terelakkan: penurunan minat guru dalam menulis dan menurunnya minat siswa dalam membaca. Fenomena ini dapat berdampak negatif pada kualitas pendidikan dan perkembangan intelektual siswa. Artikel ini akan mengupas penyebab, dampak, dan solusi dari masalah ini. Penyebab Guru Malas Menulis 1. Beban Kerja yang Tinggi: Guru sering kali menghadapi beban kerja yang tinggi, mulai dari mengajar, menyiapkan materi, hingga mengurus administrasi. Hal ini menyisakan sedikit waktu dan energi untuk menulis. 2. Kurangnya Motivasi: Beberapa guru mungkin merasa tidak ada insentif atau penghargaan yang cukup untuk menulis, baik dalam bentuk artikel ilmiah, buku, atau bahkan materi pembelajaran yang inovatif. 3. Teknologi dan Sumber Daya: Keterbatasan akses ke teknologi dan sumber daya yang diperlukan untuk menulis, seperti komputer dan akses internet yang stabil, juga bisa menjadi kendala.