Pasca Hirosima dan Nagasaki di
bom atom, kaisar Jepang bertanya “Berapa jumlah guru yang masih hidup?” Karena
kaisar Jepang memiliki keyakinan Jepang bisa bangkit kembali apabila guru-guru
mengajarkan ilmu-ilmunya kepada pemuda-pemudi Jepang. Dan di Jepang guru sangat
dihargai.
Mendengarnya, saya merasa bangga
bercampur terharu. Sampai akhirnya saya terhenyak, itu bukan di negeri kita,
itu di negeri Jepang, negara yang pernah menjadi musuh bangsa ini dan bahkan
musuh dunia. Negara yang kini menjadi negara maju jauh melampaui Indonesia
negeri kita tercinta ini.
Di Indonesia, guru tidaklah
dipandang sebagai profesi yang hebat. Buktinya, jika saya bertemu seorang,
kemudian orang tersebut bertanya kepada saya, “Apa pekerjaanmu?” Saya jawab “Guru.”
Sepontan orang itu akan bertanya lagi, “Sudah diangkat PNS?” Ya, PNS adalah
profesi dan guru hanyalah pekerjaan yang dianggap biasa. Lebih baik jadi tukang
sapu tapi PNS ketimbang jadi guru tapi honorer, apalagi honorer disekolah
pemerintah (sekolah negeri) yang penghasilannya serba minim. Itulah mindset kebanyakan orang memandang profesi guru.
Guru hanya dijadikan komoditas
politik, ketika pilkada sampai pilpres, semua memberikan janji syurga kepada
guru-guru. Dipuja-puji, diiming-imingi, yang PNS dijanjikan macam-macam
tunjangan, sementara yang non PNS akan diperjuangkan agar lebih sejahtera.
Bahkan janjinya ditulis diatas kertas bermaterai. Tapi setelah berhasil
mendapat kekuasaan, guru sepertinya bukanlah profesi yang prioritas untuk diundang merayakan
kemenangan bersama dan berbagi kebahagiaan. Tapi pelawak, tukang ojek dan pemimpin medialah yang lebih prioritas diundang
dan dijamu dalam suasana bahagia.
Saat ini saya mendengar guru
honorer K2 bertahan di istana menuntut bertemu presiden. Namun jangankan
ditemui, kehadirannyapun mungkin tidak diharapkan. Paling-paling mereka akan
minta diangkat jadi PNS, lagu lama dan ini membebani anggaran negara yang saat inipun sudah
terbebani dengan berbagai macam hutang baru pemerintah sampai proyek pembangungan kereta cepat yang sekarang menjadi kontroversi. Jadi, guru minggir dululah, tunggu pemilu mendatang akan kami dengarkan permasalahannya asal mau mendukung kami lagi. Begitu kira-kira kondisinya.
Pak menteri pendidikan pun
berkilah, salahkan daerah yang mengangkat guru honor. Lantas apa bisa program-program
bapak berjalan kalau kita masih kekurangan guru? Di Depok yang notabene perkotaan saja guru PNS masih
kurang. Logika bodohnya begini, tidak mungkin kepala sekolah mengangkat guru
honor jika tidak kekurangan guru disekolahnya. Sementara yang diatas menuntut
sekolah menjalankan program-program tanpa terkecuali sementara dibawah
kekurangan personil. Diangkatlah tenaga-tenaga honor untuk menempati
posisi-posisi kosong tersebut. Kurang beretika ketika pemerintah sudah mendapat
untung banyak dari “tenaga murah” ini yang bahkan dibayarnya jauh dari
manusiawi, dan sekarang seolah mau dibuang begitu saja.
Saya ingat, ketika kurikulum
mewajibkan pelajaran Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) serta Bahasa
Inggris untuk sekolah dasar, apakah pemerintah menyiapkan tenaga pengajar PNS
nya? Tidak sama sekali. Pemerintah tahunya semua pelajaran itu harus dilaksanakan
disekolah-sekolah. Buku-buku paket dan LKS dicetak mungkin dengan tender besar, dana pelajaran TIK
digelontorkan, namun gurunya yang PNS tidak disiapkan. Apa yang bisa dilakukan
kepala sekolah selain mencari tenaga honor yang mau dibayar murah? Demi
terlaksananya program bapak menteri yang terhormat yang nantinya akan
dipuja-puji orang karena programnya berhasil, kepala sekolah mau tidak mau
mengangkat tenaga honorer. Disampaikanlah kepada tenaga honorer itu, disini honornya tidak seberapa, tapi kalau terus dijalani nanti juga mudah-mudahan
bisa diangkat. Pemberian harap dari seorang pejabat kepala satuan kerja kepada tenaga honornya.
Termasuk di instansi-instansi lain saya rasa hampir mirip kondisinya, yang
bekerja sudah lebih 10 tahun pasti waktu masuknya pernah “dijanjikan”. Sekarang-sekarang saja tidak, meskipun tetap masih ada pengangkatan honorer "terselubung" karena ya itu tadi, mana guru PNS nya kok belum disediakan pemerintah? Sementara anak didik tidak boleh stop belajar hanya karena alasan tidak ada guru yang mengajar.
Begitupun ketika IT mulai
berkembang dan masuk dunia pendidikan. Lahirlah aplikasi Data Pokok Pendidikan
(Dapodik), Padamu Negeri, BIO UN, BOS Online, VervalPD, dan lain-lainnya. Apakah
pemerintah menyiapkan tenaga operator PNS nya untuk menjalankan itu semua? Lagi-lagi
tidak !!! “Orang atas” cuma mengancam, kalau sekolah tidak mau menjalankan semua
aplikasi itu BOS nya ditahan, tunjangan gurunya di stop, sekolahnya sulit
mendapatkan bantuan. Akhirnya apa yang terjadi? Kepsek lagi-lagi mencari tenaga
honorer agar bisa menjalankan semua aplikasi serba “e” tersebut. Lahirlah
istilah operator sekolah. Mengapa tidak yang PNS saja yang menjalankan? PNS yang ada kebanyakan tidak sampai
skillnya untuk berkutat dengan hal-hal berkaitan dengan komputerisasi dan elektronik yang demikian, karena rata-rata mereka orang lama, diangkat jadi PNS jaman mesin ketik masih sebesar-besar kompor gas, dan selain itu bukan bidangnya pula, meskipun kalau niat mau belajar seharusnya bisa.
Muncul lagi ePUPNS, setiap PNS
harus menginput data secara mandiri. Siapa yang mengerjakan? Ya tanya sendiri, khusus sekolah-sekolah banyak operator sekolah yang jadi "joki" ePUPNS. Menpan kan tidak mau tahu itu, yang penting program mentereng berlabel "e" berjalan.
Kembali ke guru honor, pemerintah harus
memberikan perhatian kepada para pendidik ini. Jika pemerintah tidak bisa
mengangkatnya menjadi PNS, ya berikanlah aturan agar mereka mendapatkan honor
setara UMR, berikan mereka BPJS baik kesehatan maupun ketenaga kerjaan, dan berikan jaminan mereka bisa bekerja sampai usia pensiun selama mereka bekerja baik.
Masa iya tukang sapu di mall dilindungi BPJS sementara guru honor di instansi
pemerintah tidak? Bukannya peraturan pemerintah “mengancam” setiap pemberi
kerja yang tidak memasukan tenaga kerjanya menjadi peserta BPJS akan diberikan sanksi tegas?
Sementara pemerintah terus menikmati tenaga murah meriah, dibayar dibawah UMR
dan tanpa diberikan jaminan sosial apapun, etiskah? Kayanya pemimpin kita perlu cermin yang sangat besar.
Kemudian bagi anda yang
menyalahkan guru honor yang mau diberikan honor rendah, dan anda mengatakan juga kalau sudah tidak mau jadi guru honor berupah rendah silahkan cari pekerjaan lain, jangan jadi guru honor yang tidak ikhlas. Jadi guru honor itu harus
ikhlas, bla..bla..bla.. Saya hanya menyebut anda dengan satu kata, KAPITALIS
! Tidak bedanya anda dengan pengusaha out sourcing. Silahkan anda kerja dengan
upah murah, kalau tidak mau masih banyak yang lain antri. Tapi out sourcing
masih lebih baik, gajinya masih diatas guru honor dan dapat jaminan sosial
pula.
Permasalahan tenaga honor dan
khususnya guru honor adalah permasalahan yang sebenarnya pemerintah sendiri
yang membuatnya. Bikin program ini itu biar kelihatan departemennya bekerja namun
tenaga PNS nya tidak disediakan. Sehingga satuan-satuan kerja dibawahnya karena
tekanan kerja dari atas akhirnya mencari "tenaga-tenaga instan" yang mau dan mampu bekerja. Karena
tenaga-tenaga instan ini dibayar murah, maka supaya mereka tetap semangat bekerja dan tidak meninggalkan pekerjaannya, diiming-imingilah dengan janji suatu saat akan diangkat, apalagi namanya sudah
ada di database sebagai tenaga honor daerah dan sejenisnya.
Pemerintah sudah menikmati banyak
keuntungan dari tenaga honor ini. Upah murah menghemat APBN, tidak perlu
dipikirkan masa depannya, tidak perlu diberi jaminan sosial bahkan yang dasar
seperti BPJS, tidak perlu dipikirkan karirnya dan keluarganya, namun dipastikan mereka mampu
menjalankan program-pogram dari departemennya. Jadi kalau ada menteri yang
bilang sudah untung honorer di kasih upah, maka saya jawab negara yang lebih untung
mempekerjakan rakyatnya sebagai tenaga kerja dengan upah murah. Padahal
perusahaan-perusahaan swasta saja dipaksa untuk menbayar tenaga kerjanya sesuai
aturan pemerintah (UMR/UMP). Anda juga untung tiap pemilihan meminta dukungan,
dan saat sudah diatas anda injak mereka, anda singkirkan mereka dan anda seolah merasa “jijik”
terhadap mereka.
Buat guru honor yang sedang
berdemo di istana, pulanglah kalian ke sekolah, katakan pada murid-murid anda: "Jangan pernah bermimpi pada negara ini. Negara ini kaya, gemah ripah repeh loh
jenawi, tapi kekayaan itu bukan milik rakyatnya. Bahkan kalian yang sudah
mengabdi puluhan tahun pada negara sebagai guru honor tidaklah berhak menyicipi
sedikit saja kesejahteraan dari negara ini. Tiap tahun kalian tulisi rapor dan
ijazah anak bangsa, tapi itu semua tidak serta merta membuat kalian menjadi
berharga dimata negara. Katakan yang sebenarnya dan ajarkan kepada mereka jika
suatu saat mereka jadi orang yang berhasil, berpihaklah pada guru, meskipun mungkin
saat itu kalian sudah tiada. PNS bukan harga mati, tapi matilah kalian sebagai
guru !"
Saya jadi suka berpikir,
jangan-jangan jika Indonesia di bom atom, pertanyaan pertama dari pemimpin kita
adalah “Berapa jumlah pelawak yang masih hidup !”
Komentar
Posting Komentar
Jika berkenan, kamu bisa memberikan komentar disini, dan jika kamu punya blog, saya akan kunjung balik. (Isi komentar diluar tanggung jawab kami).