Hari ini, 3/4/2016 saya seperti
biasa membayar semua iuran BPJS, dalam hal ini BPJS Kesehatan (BPJSK) dan BPJS
Ketenaga Kerjaan (BPJSTK). Yang bikin kaget, ternyata BPJS Kesehatan
benar-benar sudah naik tarif, kelas 2 dari Rp. 42.500 menjadi Rp. 51.000.
Lumayan berasa juga, mengingat saya terdaftar 3 orang sebagai peserta BPJSK,
jadi total yang harus saya bayarkan tiap bulannya menjadi Rp. 153.000.
Kebetulan saya peserta iuran mandiri non PBI, dengan penghasilan sebagai guru
non PNS yang dibawah UMR tentu ini cukup memberatkan juga. Tapi jika memang
janjinya pelayanan akan ditingkatkan, mungkin kita bisa maklumi.
Pengalaman saya dimana istri
pernah dirawat menggunakan BPJS Kesehatan, istri bukan sakit parah, hanya mengalami
mual-mual di kehamilannya. Kami sekeluarga sehat dan bukan perokok. Istri yang
memiliki BPJSK kelas 2 ditempatkan dikelas 3 (mungkin kalau saya kelas 3 bisa
jadi ditolak), setelah sebelumnya mengantri lama sekali. Tapi dalam tagihan
saya tetap menandatangani kelas 2. Kalau kita kelas 3 kemudian naik ke kelas 2,
maka kita disuruh bayar selisihnya, tapi mengapa jika kita kelas 2 kemudian
turun menjadi kelas 3 tidak mendapat kompensasi?
Selain turun kelas, obat pun
masih banyak yang harus membayar baik di loket obat dalam rumah sakit maupun di
apotek luar rumah sakit. Kalau cairan infus diberikan banyak, tapi setelah
pulang cairan itu diambil kembali oleh rumah sakit. Saya sih tidak mempersoalkan,
tapi apa mungkin laporan rumah sakit kepada BPJSK terhadap cairan infus yang
diambil kembali sesuai jumlahnya dengan yang terpakai? Misal, saya diberikan
cairan infus 10, kemudian setelah selesai rawat inap tersisa 4 (berarti terpakai
6) dan diambil kembali oleh rumah sakit, apakah laporan ke BPJSK nya 6 atau 10?
Itu sih sebenarnya urusan mereka. Tapi praktik-praktik ini bisa saja terjadi,
toh rumah sakit tidak mau rugi karena tarif paket dalam INA CBGs yang dinilai
merugikan rumah sakit. Praktik menurunkan kelas rawat inap, jumlah botol cairan
infus yang dikeluarkan “berlebihan” kemudian diambil kembali, dan lainnya hal
yang bisa saja terjadi demi menutup kerugian operasional rumah sakit, termasuk “jualan”
obat paten yang sebenarnya bisa digantikan dengan obat generik yang ditanggung
BPJSK.
Lalu harapan saya sebagai peserta
BPJSK non PBI terhadap kenaikan iuran BPJSK:
1. Harus dibedakan pelayanan
peserta iuran BPJS non PBI dengan PBI. Karena peserta non PBI kan membayar
penuh, tanpa bantuan pemerintah. Mereka menjadi anggota BPJSK karena kesadaran
sendiri mensukseskan program JKN pemerintah. Setidaknya jangan disamakan
antriannya dengan PBI. Atau baiknya tidak perlu mengantri di loket BPJS di
rumah sakit, tapi langsung mengantri di loket rumah sakit seperti pasien umum.
2. Tidak ada lagi membeda-bedakan
kamar, ini kamar untuk umum dan ini untuk BPJSK. Ini sangat tidak manusiawi
sekali, siapa sih yang mau sakit?
3. Jika naik kelas kita dikenakan
tambahan pembayaran dari selisih kelas, maka jika turun kelas seharusnya kita
mendapatkan kompensasi.
4. Jika telat membayar iuran kita
dikenakan denda, maka jika membayar iuran selalu tepat waktu seharusnya
mendapatkan reward. Dengan begitu sebagai peserta kita menjadi lebih semangat
dalam membayar iuran tiap bulannya. Apa bentuk reward-nya? Misalnya, yang
membayar 1 tahun tanpa terlambat sekalipun tiap bulannya, diberikan reward 1
bulan gratis iuran. Atau membayar 6 bulan kedepan, gratis 1 bulan iuran. Ini
kan menarik dan kreatif, jangan cuma bisanya mengancam dengan denda dan denda
doang.
5. BPJSK harus menanggung seluruh
biaya rumah sakit termasuk obat-obatan. Jangan sampai ada obat yang masih harus
dibeli diluar karena alasan tidak tercover BPJSK, toh siapa sih yang mau sakit?
6. Untuk Faskes tingkat 1 tidak
harus ditempat dimana kita menginput saat mendaftar, tapi bisa digunakan untuk faskes
tingkat 1 seluruh Indonesia. Misal, kita terdaftar di faskes tingkat 1
Puskesmas Beji Depok Jawa Barat, dan selama ini kita hanya bisa berobat ke
faskes tersebut. Jika kita sedang pergi keluar kota, sebut saja Jogjakarta,
kemudian kita sakit, seharusnya kita juga bisa berobat dengan menggunakan kartu
BPJSK di faskes tingkat 1 di Jogjakarta tanpa keluar biaya lagi dan bahkan bisa
mendapat rujukan. Jadi BPJSK berlaku nasional, tanpa terkotak-kotak oleh faskes
tingkat 1.
7. BPJSK lebih memperhatikan kewajibannya kepada rumah sakit, sehingga rumah sakit senang melayani pasien BPJSK.
Itulah harapan-harapan saya
terhadap BPJSK dan kenaikan iuran yang menurut saya terlalu cepat tanpa
diimbangi dengan perbaikan pelayanan. Mungkin ada pengunjung blog ini yang juga
peserta BPJSK non PBI alias peserta dengan iuran mandiri yang bisa menambahkan
harapan-harapan diatas, silahkan isi kolom komentar. Semoga tulisan ini dibaca
oleh pihak-pihak yang berkompeten mengambil kebijakan demi perbaikan kualiatas
layanan BPJSK. Terimakasih.
Komentar
Posting Komentar
Jika berkenan, kamu bisa memberikan komentar disini, dan jika kamu punya blog, saya akan kunjung balik. (Isi komentar diluar tanggung jawab kami).