ilustrasi: id.walls321.com |
Hujan gerimis turun menerpa sebuah
perkampungan kumuh di pinggir rel kereta api. Rumah-rumah yang semi permanen
dan kebanyakan terbuat dari kardus-kardus serta barang-barang bekas lainnya
nampak sudah begitu payah untuk melindungi para penghuninya. Jika saja hujan
turun lebih lebat lagi dan disertai dengan tiupan angin, mungkin akan ada
sebagian dari rumah-rumah tersebut yang ambruk dan tidak sanggup lagi
melindungi seisinya. Bau tanah becek yang mulai tergenang air menambah aroma
kekumuhan perumahan masyarakat kelas bawah tersebut. Semua penghuninya berdiam
didalam, tanpa dilengkapi penerangan yang memadahi. Karena memang mereka semua
tidak memiliki jaringan listrik. Jikapun ada penerangan paling-paling lampu
yang ada disepanjang rel kereta api dan juga lampu tempel yang sengaja dipasang
oleh mereka.
Disitulah, dipemukiman kumuh
itulah, tinggal seorang bocah wanita yang berusia 6 tahun. Didalam
rumah kumuh itu, dikala cuaca langit gelap dan tidak bersahabat, dengan
ditemani sebuah lilin wangi berwarna merah yang ia dapatkan dari tempat sampah
dekat sebuah pusat perbelanjaan mewah didaerahnya. Arin..., demikian nama bocah
wanita itu. Ia dengan sibuknya sedang menyelesaikan sebuah gambar pelangi yang
membentang dilangit yang cerah dan jernih, tidak seperti langit diatas rumah
kumuhnya yang gelap, pekat dan tidak bersahabat. Apalagi bagi anak seusianya
yang memang takut akan kegelapan. Berkali-kali ia mengucek matanya yang mulai
lelah dan panas karena pancaran redup dari lilin wangi berwarna merah
sahabatnya. Indahnya pelangi yang digambarnya itu membuat ia enggan untuk
berhenti dari aktivitasnya. Crayon-crayon kecil serta sebuah kertas gambar
berwarna kuning usang menjadi media dalam mencurahkan segenap keterampilannya.
“Ini untuk bu Guru....!” gumamnya
disertai senyum kepolosan. Kepolosan anak kecil yang tidak tahu apa yang
sebenarnya yang sedang dan akan terjadi padanya.
“Sebentar lagi Arin akan masuk
sekolah, dan punya bu guru !”, itulah kata-kata yang selalu terngiang di
telinga Arin ketika ia merajuk meminta untuk dimasukan sekolah oleh ibunya.
Ibunya yang hanya seorang tukang cuci dan ayahnya yang hanya seorang pengumpul
barang bekas, sudah barang tentu tidak mampu untuk menyekolahkannya. Mereka
bekerja hasilnya hanya cukup untuk menyambung hidup saja. Begitupun juga Arin,
diusianya yang masih kecil, ia sudah harus membantu kedua orang tuanya dengan
mengamen dan juga mengumpulkan bekas gelas aqua. Sampai akhirnya ia tersadar karena
melihat anak seusianya yang sedang diantar berangkat kesekolah oleh ibunya.
“Arin ingin seperti itu bu....!”, katanya
sambil menunjuk kearah segerombolan anak-anak dan orang tuanya yang akan
berangkat ke sekolah.
Arin ingin seperti mereka,
mengenakan seragam putih merah, menenteng sebuah tas berwarna pink, bersepatu
hitam mengkilap, berkaos kaki putih bersih dan diantar oleh ibunya menuju ke
sekolah yang ia idam-idamkan.
Bapak-ibu Arin hanya dapat mengelus
dada karena menahan beban yang sangat berat tanpa dapat berbuat apa-apa.
Tatkala Arin menyelesaikan gambar pelanginya, merapikan crayon-crayon pendeknya,
dan memadamkan lilin wangi berwarna merah sahabatnya. Tak lupa ia menaruh
gambar pelanginya dengan hati-hati disebuah lemari reot yang terbuat dari
triplek tipis. Ia kemudian menuju dipannya yang hanya beralas kardus, dan tidak
lama kemudian, ia telah terbuai oleh mimpinya yang indah, mimpi kalau ia sedang
bersekolah, dengan diantar oleh ibunya, dengan mengenakan seragam putih merahnya,
tak lupa tas berwarna pink mengantung dipunggunganya. Ia bertemu bu guru yang
ramah, yang menyambutnya dengan senyuman yang hangat, memeluknya, menciumnya,
dan memberikan kasih sayang yang selama ini selalu ia bayangkan. Arin tertawa
dalam mimpinya, ia sangat senang sekali, ia punya banyak teman sebaya, ia punya
buku-buku pelajaran didalam tas indah berwarna pinknya, ia juga punya PR yang
harus dikerjakannya dirumah, ia juga menyapu kelas sebelum masuk atau sesudah
pulangnya, ia berbaris dengan rapi didepan kelas, sepertinya ia benar-benar
merasakan berseklolah dalam mimpi indahnya. Tiba-tiba saja ibu guru yang ramah
menghampirinya. Arin teringat gambar pelangi yang selama ini ia buat untuk
diberikan kepada ibu gurunya. Ia bergegas mengambilnya dari dalam tas indah
berwarna pink yang ia bawa. Namun, ia terkejut...., gambar pelanginya telah
hancur menjadi sobekan-sobekan kertas kecil didalam tasnya.
Arin terbangun dari tidurnya, seketika
itu pula ia membuka lemari reot tempat ia menyimpan gambar pelangi
kebanggaanya, “Ah masih ada..., kamu tidak boleh rusak, karena kamu akan aku
hadiahkan kepada bu guruku disekolah nanti !”. Kata Arin seolah berbicara pada
kertas kuning usang bergambar pelangi. Kelakuan Arin yang demikian, membuat
hati kedua orang tuanya bak disayat sembilu, sedih, perih, pedih ditengah tak
keberdayaannya untuk mengabulkan keinginan anaknya, bersekolah !.
***
Seperti biasanya, Arin pergi untuk
membantu orang tuanya mencari sesuap nasi. Orang tuanya yang telah menjanjikan akan
memasukannya kesekolah, membuat ia bersemangat. Ia tidak tahu kalau kedua orang
tuanya hanya sekedar menghiburnya. Arin juga tidak mampu berpikir, kalau memang
orang tuanya adalah orang yang mampu, buat apa Arin harus pergi dipagi hari
untuk mengamen atau mencari gelas aqua bekas yang kemudian dijualnya untuk
membantu biaya hidup sehari-hari. Maklumlah, karena Arin hanyalah seorang anak
kecil yang lugu.
Disepanjang jalan bersama
teman-temannya sesama pengamen, Arin senantiasa bercerita bahwa sebentar lagi
ia akan masuk sekolah, ia akan memakai seragam putih merah, ia akan mempunyai
bu guru. Dan perkataanya itu membuat teman-teman Arin merasa senang, mereka
semua penasaran ingin mendengar pengalaman Arin jika nanti ia sudah masuk
sekolah. Arin juga dengan percaya diri menanyakan kepada anak sekolah seusianya,
“Sekolah dimana kamu ?, kalau aku nanti
sekolah di SD 1 !”, itulah yang akhir-akhir ini sering dilakukan Arin ketika ia
berpapasan dengan anak sekolah sebayanya ketika ia sedang mengamen atau mencari
gelas aqua bekas.
Arin juga mulai berani untuk
mengucap salam, ketika seorang bu guru keluar dari sekolahan tempat ia katanya
akan bersekolah disana, di SD 1. Bahkan..., tak tanggung-tanggung, dengan sigap
Arin suka mencium tangan “bu gurunya” itu.
“Aduh anak pintar, namanya siapa
?”, tanya bu guru ketika Arin mencium tangannya.
“Arin bu guru..., nanti kata ibu Arin...,
Arin akan sekolah disini....!” jawabnya dengan yakin.
Di sore hari, ketika akan pulang
kerumahnya, Arin melihat kepulan asap dari arah kampung kumuhnya. Seketika ia berlari dengan
kencangnya, apalagi ketika telah nampak dimatanya rumah gubuknya sebagian telah
dilahap api. Arin berlari menerobos orang-orang yang sedang sibuk menyelamatkan
barang berharganya. Ia teringat gambar pelangi yang ia simpan di dalam lemari
reot dirumahnya. Karena panik dan sibuknya, warga kampung kumuh itu tidak
memperhatikan Arin yang berlari masuk kedalam rumahnya yang mulai rata
terbakar. Termasuk bapak-ibunya, ia tidak melihat anak kesayangannya yang nekat
menerobos masuk kedalam rumah gubuknya.
Api berhasil dipadamkan...
Nampak sesosok tubuh kecil yang
hangus terbakar diantara reruntuhan rumah-rumah gubuk. Ia adalah Arin, dengan
meringkuk ia memegang gambar pelanginya yang juga ikut hangus terbakar, sama
seperti hangusnya cita-cita Arin untuk bersekolah, hangusnya keinginan Arin
untuk memiliki ibu guru...
Pelangi yang ia gambar ibarat
sebuah jembatan yang akan dilaluinya untuk menuju sekolah dan masa depan yang
ia idam-idamkan. Ia ingin menitinya, tapi bagaimana mungkin, pelangi itu kini
telah rusak..., pelangi itu kini telah hancur..., hancur oleh kejamnya
kehidupan di negeri ini. Negeri yang selalu disebut zamrud khatulistiwa...
Depok, Januari 2006
Untuk murid-murid ku, kalian masih lebih
beruntung dari Arin
Kalian masih bisa sekolah...
Komentar
Posting Komentar
Jika berkenan, kamu bisa memberikan komentar disini, dan jika kamu punya blog, saya akan kunjung balik. (Isi komentar diluar tanggung jawab kami).