Saya harus bersyukur terlahir sebagai orang Jawa, tapi saya lebih bersyukur lagi saya terlahir sebagai seorang muslim. Sebagai orang Jawa adalah warisan dari darah keturunan ayah saya, sedangkan sebagai seorang muslim bagi saya bukanlan warisan, tetapi bagaikan sebuah harta karun yang tiada ternilai harganya.
Memang saya tidak bisa memilih untuk menjadi orang apa, suku apa, bangsa apa bahkan di negara mana saya dilahirkan. Begitupun agama yang saya dapat sejak lahir, saya tidak dapat memilihnya ketika saya dilahirkan. Saya menerima “doktrin” kebenaran agama saya dan menganggap agama saya yang benar sedangkan agama diuar agama saya adalah tidak benar.
Dan saya bersyukur dalam ajaran agama saya ada rambu-rambu yang jelas dalam kitab suci bagaimana bertoleransi dengan agama diluar agama saya.
“Tidak ada paksaan dalam memeluk agama…” (QS. Al Baqarah: 256)
"Untukmu agamamu, dan untukku lah, agamaku" (QS. Al Kafirun: 6)
"Untukmu agamamu, dan untukku lah, agamaku" (QS. Al Kafirun: 6)
Jelas sekali tidak boleh memaksakan agama kita kepada orang lain yang berbeda agama, oleh karena itu tidak pernah saya mendengar adanya misionaris-misionaris dalam agama saya untuk meng-Islam-kan orang apalagi dengan iming-iming materi dan saya pun tidak akan mau repot-repot “menggangu” agama orang lain.
Saya juga pernah berpikir, apakah Sang Pencipta adil jika Dia menjadikan agama sebagai warisan? Tentu banyak orang yang beruntung jika mereka terlahir sebagai muslim (dalam pandangan iman saya) . Dan sangat merugi jika mereka terlahir sebagai non muslim.
Sebagai muslim kami akan selamat jika menjalani ajaran Islam dengan benar semampu kami, dan sebagai non muslim mereka akan masuk kedalam neraka. Begitupun pandangan masing-masing agama. Kristiani, Hindu, Budha dan Yahudi berpendapat bahwa yang selamat adalah agama yang mereka anut saja. Disinilah toleransi dan saling menghormati itu seharusnya berada.
Namun demikian, jika benar agama adalah warisan, mengapa saya sering mendapati seorang yang terlahir dari keluarga muslim tetapi dia menyia-nyiakan agamanya, tidak peduli dengan Islam-nya, tidak pernah sholat, puasa, zakat dan ibadah-ibadah lainnya sebagai seorang muslim. Status Islam hanya ada di KTP-nya saja.
Bahkan dalam beberapa kasus saya sering melihat seorang muslim yang memusuhi agamanya sendiri sampai-sampai ia akhirnya melepaskan ke-Islamannya untuk berpindah agama atau memilih menjadi atheis.
Dilain pihak, ada seorang yang terlahir dari keluarga non muslim. Sepanjang sejarah keturunan keluarganya tidak pernah ada yang menganut Islam bahkan ada yang diajarkan untuk memusuhi Islam. Namun seiring waktu, dia kemudian memilih menjadi mualaf (menganut Islam) setelah lama mempelajari, merenungi dan mencari apa yang menurutnya benar. Dan ke-Islamannya bahkan sering melampaui orang-orang yang telah lebih dahulu memeluk Islam sejak lahir. Dia pelajari Islam sampai dia menjadi ustadz atau pakar dalam ajaran Islam. Meskipun tidak terlahir sebagai muslim, dia bisa mendapatkan derajat tinggi, sebagai panutan dan rujukan ditengah-tengah ummat.
Apakah masih relevan kita katakan bahwa agama adalah warisan?
Saya tidak bisa merubah suku saya dari suku Jawa menjadi suku lain, karena memang benar suku adalah warisan. Namun saya bisa merubah agama saya jika saya mau. Oleh karena itu, bagi saya tidak tepat menyebut agama adalah warisan.
Saya orang Jawa, ketika saya mati nanti saya tetap orang Jawa. Namun tidak demikian dengan agama, saya seorang muslim, apakah ketika mati saya masih tetap muslim? Hal ini berlaku pula untuk agama lainnya.
Saya orang Jawa, ketika saya mati nanti saya tetap orang Jawa. Namun tidak demikian dengan agama, saya seorang muslim, apakah ketika mati saya masih tetap muslim? Hal ini berlaku pula untuk agama lainnya.
Dalam cerita para Nabi sering digambarkan bahwa seorang Nabi pun tidak mampu mewariskan agamanya kepada anak keturunannya. Contoh Nabi Nuh memiliki anak yang tidak mengikuti jalan ayahnya. Sekali lagi saya bertanya, masih relevankah agama disebut warisan?
Agama adalah sebuah pencarian yang rumit, yang melibatkan segala potensi pada diri kita. Lihatlah bagaimana Nabi Ibrahim AS mencari Penciptanya. Ini adalah sebuah contoh yang konkrit bagi ummat Islam, padahal ditengah-tengah Nabi Ibrahim AS pun sudah ada agama yang mereka anut warisan dari nenek moyang.
Oleh karena itu bersyukurlah ketika kita terlahir dengan memeluk agama yang kemudian kita imani dengan mantap, berarti kita telah mendapatkan harta karun itu. Jika tidak, maka kita harus mencari harta karun lainnya, karena agama bukan warisan !
saye setuju, Apa yang di tulis oleh temen sd saya. hebat kamu bay. salam nita :)
BalasHapusTemen SD? Nita?
HapusKayanya temen SD saya gak ada yang namanya Nita, kalau mantan iya.. :P