Langsung ke konten utama

Ketika Saya Bukan Guru Lagi

Per 1 Februari 2018, saya meminta pengunduran diri ke Kepala Sekolah saya untuk tidak mengajar lagi di sekolah, saya lebih memilih menjadi tenaga administrasi yang setiap harinya berkutat dengan pendataan guru dan siswa, penyusunan anggaran sekolah, peng-SPJ-an BOS, dan lain-lainnya yang semakin hari semakin banyak saja jenisnya. Oleh karena itu saya harus memilih, karena saya tidak mau juga terlalu ngoyo, ya ngajar, ya jadi tenaga administrasi (atau lebih dikenal operator sekolah).

Oh iya, selama ini saya bekerja sebagai tenaga guru non PNS di sebuah sekolah dasar di Kota Depok selama lebih dari 13 tahun (TMT 5 Maret 2005). Pada tahun 2018 ini, pemerintah Kota Depok memberikan perhatian yang cukup baik kepada tenaga honorernya, yang mana honor dibayarkan berdasarkan masa kerja dan tingkat pendidikan. Meskipun masih dibawah UMP, namun saya rasakan sudah lebih baik perhatian yang diberikan. Konsekuensinya, Kepala Dinas Pendidikan Kota Depok melarang  kepada tenaga honornya untuk merangkap sebagai guru dan tenaga administrasi bersamaan. Jadi harus memilih, ingin jadi guru atau ingin jadi tenaga administrasi.

Akhirnya, dengan pertimbangan yang matang, dimana disekolah saya hanya ada satu orang tenaga operator sekolah dan administrasi yang berpengalaman, dan jika saya tetap menjadi guru, maka siapa yang mengerjakan tugas-tugas yang serba cepat dan sangat mengandalkan kemampuan penggunaan perangkat IT disekolah? Disinilah saya memilih untuk berhenti menjadi guru (meskipun nilai UKG online saya Pedagogik 89,2857142 dan Profesional 82,9081632 dengan nilai total 84,8214), tapi saya tetap harus konsentrasi di satu pekerjaan.

Sebagai operator sekolah, kegiatan saya begitu banyak dan menuntut mobilitas tinggi. Rapat disana, rapat disini, kumpul disana, kumpul disini. Buat laporan ini itu dan sering juga begadang untuk mengejar pekerjaan yang seolah tak ada habisnya. Jika sambil mengajar, saya khawatir tidak bisa memberikan hak kepada murid saya dengan maksimal. Saya sering meninggalkan kelas jika tiba-tiba saja ada pekerjaan yang harus disegerakan dan ditunggu laporannya hari itu juga.

Selain itu, saya juga lebih merasa senang bekerja dengan rekan-rekan operator sekolah yang kebanyakan dari mereka adalah generasi milenial, yang cara bekerjanya tidak "konvensional." Asal ada laptop, wifi, dan kopi, bekerja dimanapun bisa dilakukan. Apalagi kalau ada nasi bungkus, siap lembur sampai tipes :D

Operator sekolah sekarang telah menjadi entitas baru di dunia pendidikan, pun juga dalam bidang-bidang lainya. Di Puskesmas, di Desa, di instansi lainnya ada "anak-anak muda" yang kebanyakan mereka adalah tenaga honorer diangkat untuk melaksanakan peralihan dari era kertas ke era elektronik. Tuntutan kemajuan jaman dimana semua lini pekerjaan telah memasuki dunia digital dan online, yang diistilahkan orang adalah revolusi industri 4.0. Revolusi industri 4.0 ini juga menuntut semua instansi pemerintah mengakomodasi teknologi digital berbasis jaringan internet sesuai dengan bidang dan tingkatan pekerjaannya.

Kita tidak akan pernah melihat mesin ketik lagi dikantor-kantor pemerintahan, tapi setiap instansi pemerintahan kini diharuskan memiliki peralatan teknologi informasi dan jaringan internet yang terhubung satu dengan lainnya. PC, laptop, printer dan router jaringan, sudah harus selalu siap dan tentu harus ada yang meng-"operatori" itu semua bukan? Mengingat tenaga ASN kebanyakan adalah generasi pra milenial.

Revolusi industri 4.0 ini dimulai pada tahun 90an, jaman-jaman Dilan pacaran gitulah. Pada masa ini, revolusi internet mulai ada dan terus berkembang. Namun, kebanyakan kita tidak pernah berpikir bahwa internet akan berkembang menjadi sedemikian seperti saat ini. Sekarang, hampir semua perangkat yang kita gunakan untuk bekerja terhubung satu sama lain dengan jaringa internet. Ada istilah Internet Of Things (IoT), yang menggambarkan bahwa benda-benda disekitar kita dapat berkomunikasi satu dengan lainnya dengan menggunakan jaringan internet. Disinilah muncul era digitalisasi dan era online, atau era revolusi indusri 4.0.

Mulai dari belanja online, ngobrol online, kredit online, bayar ini itu online, semua serba online dan hal ini tentu  juga "merasuki" berbagai macam industri termasuk kaitannya dengan instansi-instansi pemerintah tadi.

ilustrasi
Bagaimana dengan sekolah? Dalam dunia sekolah (pendidikan), muncul pula aplikasi-aplikasi pendataan online. Sebut saja Dapodik, Padamu Negeri (dulu), SIMPKB, BOS online, Aset Online, PPDB online, PIP online, Simpeg bahkan ujian dengan UNBK. Nah apakah sekolah atau instansi pemerintah lainnya sudah menyiapkan SDM nya? Menurut anda? 

Tentu hal tersebut membutuhkan SDM yang banyak untuk mengoperasikan berbagai macam aplikasi online di seluruh Indonesia. Bagaimana cara memenuhi SDM tersebut? Apakah harus ada pengangkatan CPNS? Terlalu lama sepertinya. Dari proses pendaftaran, seleksi, pendidikan dan penempatan semua membutuhkan waktu. Padahal ketika aplikasi itu diluncurkan, sekolah harus siap dan harus mampu mengoperasikannya dengan sedikit "ancaman". Lalu bagimana solusinya? Ya yang paling mudah cari tenaga honorer, "anak-anak milenial" yang mereka memang lebih open minded terhadap hal-hal berbau online ini adalah orang-orang yang tepat untuk bekerja dengan perangkat IT.

Atau yang kebetulan di sekolahnya ada eks guru TIK karena pelajaran TIK sudah tidak diwajibkan lagi, disini ada sebagian guru TIK yang kemudian berpindah mejadi tenaga operator sekolah.

Harapan saya, semoga operator sekolah di seluruh Indonesia lebih diperhatikan kesejahteraannya, dan juga diberikan jaminan untuk dapat terus bekerja meskipun tidak harus diangkat menjadi ASN. Apalagi yang mereka kerjakan di sekolah adalah sesuatu yang vital, tentu jangan sampai operator sekolah ngambek. Hehe... Salam Satu Data !

Baca Juga

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pengalaman Nonton Ayat-ayat Cinta

Coz webnya kakbayu nggak bisa dibuka ya udah jadinya saya krm in email aja, saya mo cerita nich... Hari jumat yang lalu saya nonton ayat2 cinta bareng ama temen, dan Subhanalloh, mata saya bengkak gedhe banget sekeluarnya dari bioskop, dan bengkak itu 2 hari baru bisa kempes, he he he he he. Sebenarnya saya nangis bukan karena jalan ceritanya, bukan karena Fahri yang begitu sempurna seperti halnya Aisha baik agama maupun hati dan akhlaknya, bukan juga karena nasib Maria yang begitu malang. Tapi ada dua adegan yang sampai sekarang kalo diinget saya masih tetep nangis.

Begini cara hitung skor PPDB Zonasi Sekolah Dasar Negeri Kota Depok Tahun 2024

Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) Kota Depok tahun ini rupanya berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya. Dimana pada tahun 2024 ini PPDB dilaksanakan secara terintegrasi dari TK Negeri, SD Negeri dan SMP Negeri. Tahun ini pun persyaratan Kartu Keluarga (KK) Kota Depok yang terbitnya setidaknya sudah 1 (satu) tahun pun menjadi persyaratan mutlak. Tujuannya tentu saja menyaring agar calon peserta didik yang mendaftar di sekolah negeri dibawah Dinas Pendidikan Kota Depok adalah benar-benar warga Depok, yang telah memiliki KK dan tinggal di Depok setidaknya 1 (satu) tahun. Jika tidak, maka tombol opsi untuk melakukan pendaftaran tidak dapat di tekan. Tujuannya memang positif, dimana Dinas Pendidikan Kota Depok memberikan prioritas kepada warga Depok untuk dapat bersekolah di kotanya sendiri dan sekolah yang dekat dari tempat tinggalnya sesuai KK. Namun dampaknya untuk Sekolah Dasar Negeri banyak calon peserta didik yang berusia 7 (tujuh) tahun keatas tidak dapat masuk sekolah dikarenakan K...

Guru Malas Menulis, Murid Malas Membaca: Tantangan dan Solusi Pendidikan

Dalam era digital yang serba cepat ini, dunia pendidikan menghadapi tantangan baru yang tak terelakkan: penurunan minat guru dalam menulis dan menurunnya minat siswa dalam membaca. Fenomena ini dapat berdampak negatif pada kualitas pendidikan dan perkembangan intelektual siswa. Artikel ini akan mengupas penyebab, dampak, dan solusi dari masalah ini. Penyebab Guru Malas Menulis 1. Beban Kerja yang Tinggi: Guru sering kali menghadapi beban kerja yang tinggi, mulai dari mengajar, menyiapkan materi, hingga mengurus administrasi. Hal ini menyisakan sedikit waktu dan energi untuk menulis. 2. Kurangnya Motivasi: Beberapa guru mungkin merasa tidak ada insentif atau penghargaan yang cukup untuk menulis, baik dalam bentuk artikel ilmiah, buku, atau bahkan materi pembelajaran yang inovatif. 3. Teknologi dan Sumber Daya: Keterbatasan akses ke teknologi dan sumber daya yang diperlukan untuk menulis, seperti komputer dan akses internet yang stabil, juga bisa menjadi kendala.