Pemerintah melalui Menpan RB dan Badan Kepegawaian Nasional (BKN) sepakat dengan Komisi II DPR untuk menghapus tenaga honorer dari seluruh instansi pemerintah pusat dan daerah. Kesepakatan itu sebagai mandat dari UU No. 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN). Jadi kedepannya pegawai pemerintah itu hanya ada 2 yaitu ASN Pegawai Negri Sipil (PNS) dan Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK).
Kabiro Humas BKN mengungkapkan penyebab banyak tenaga honorer di instansi pemerintah pusat dan daerah karena Pejabat Pembina Kepegawaian (PPK) tidak melaksanakan aturan larangan yang sudah terbit. Banyak PPK yang melanggar dengan berasumsi kekurangan SDM. Apakah benar kekurangan SDM atau ini hanya alasan pemerintah pusat saja dalam hal ini Menpan RB dan BKN untuk “berlepas” tangan dari permasalahan honorer ini? Apalagi ada yang mengatakan pengangkatan honorer sering kali terjadi karena kedekatan dengan pejabat PPK (nepotisme). Memang ada yang demikian, namun tidak semua seperti itu. Saya termasuk yang tidak nepotisme.
Baiklah, saya akan menceritakan bagaimana saya bisa "terjerumus" menjadi tenaga honorer di sebuah sekolah dasar negeri di Kota Depok. Tahun 2005 saat Kementerian Pendidikan memberlakukan pelajaran Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) untuk sekolah dasar dan bahkan pada saat itu ada dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) khusus untuk meyelenggarakan pelajaran TIK. Pemberlakuan kurikulum ini tentu membuat banyak kepala sekolah “pusing tujuh keliling” mengingat untuk menyelenggarakan pelajaran ini tentu membutuhkan pengajar yang bisa mengajarkan pelajaran TIK. Mengapa tidak guru PNS yang sudah ada saja mengajar TIK? Masalahnya adalah tenaga PNS selain masih banyak yang gagap teknologi dan juga menjadi tidak efisien ketika PNS yang kebanyakan guru kelas mengajar pelajaran lain, bisa mengganggu tugas pokoknya sebagai guru kelas. Ketika itu di sekolah masih ada mesih ketik yang dioperasikan untuk membuat surat oleh seorang guru PNS yang sudah senior, dan belum ada ada peralatan komputer yang memadahi. Itu yang saya lihat ketika saya mulai mengajar di sekolah negeri tersebut.
Ijazah saya ketika itu hanya SMA, namun banyak sertifikat komputer yang saya miliki dan pengalaman saya sebagai tekhnisi komputer membuat saya akhirnya diterima. Selain mengajar kan saya juga harus bisa sedikit memperbaiki peralatan TIK yang rusak. Pada saat itu saya melamar, dan saya sama sekali tidak mengenal dengan kepala sekolah maupun guru di sekolah tersebut. Jadi saya diterima bukan karena KKN, bukan karena nepotisme, bukan karena kenal dengan pejabat dalam hal ini kepala sekolah. Tapi karena sekolah sedang mencari orang untuk mensukseskan program pembelajaran TIK yang dicanangkan pemerintah ketika itu.
Selain mengajar siswa, saya juga mengajar beberapa guru juga. Saat itu sudah ada beberapa komputer dan sebuah printer di sekolah saya. Saya pun membawa printer dari rumah untuk mempercepat pekerjaan saya. Saya tidak hanya mengenalkan TIK kepada siswa tapi juga kepada teman-teman guru yang ternyata antusias ingin belajar. Bahkan beberapa membeli perangkat komputer dari saya, atau meminta rekomendasi laptop dan peralatan TIK lainnya yang worthed untuk dibeli.
Saya pun kemudian dijadikan bendahara dana BOS TIK karena saya mampu membuat laporan menggunakan perangkat komputer. Saya kemudian dilibatkan dalam urusan BOS di sekolah khususnya dalam membuat laporan-laporan dan rencana anggaran.
Saya sudah bekerja dari tahun 2005 sampai dengan saat ini. Saya pun pernah mengajar di sebuah sekolah SMK Pariwisata di Jakarta untuk bidang studi Keterampilan Komputer Untuk Pengolahan Informasi (KKPI). Meskipun saat itu ijazah saya hanya SMA. Baru tahun 2014 saya mendapatkan ijazah S1 kependidikan.
Tahun 2012 lahirlah aplikasi Data Pokok Pendidikan (Dapodik), apakah pemerintah mempersiapkan tenaga ASN terlebih dahulu untuk mengoperasikan Dapodik di sekolah-sekolah? Tentu tidak! Pemerintah hanya memberlakukan saja tanpa memikirkan siapa yang akan menjalankan aplikasi tersebut di lapangan. Jika sekolah tidak menjalankan kebijakan tersebut, maka data sekolah akan dihapus dari kementerian. Kepala sekolah mana yang tidak ngeri jika sekolah yang dipimpinnya tidak diakui eksistensinya oleh kementerian? Kebanyakan sekolah yang sudah memiliki guru TIK, yang kebanyakan non PNS tadi kemudian memberikan tugas tambahan pada guru TIK nya tersebut sebagai Operator Dapodik Sekolah. Tapi banyak juga sekolah yang merekrut tenaga non PNS baru lagi khusus untuk dijadikan tenaga kependidikan Operator Sekolah. Disinilah perekrutaan tenaga honorer terjadi lagi.
Dari awal saya masuk menjadi tenaga non PNS, saya memang tidak pure hanya menjadi guru saja, saya merangkap tugas sebagai tenaga administrasi khusus untuk membantu kepala sekolah membuat tugas-tugas pokoknya seperti Laporan BOS, RKAS, RKT, RKJM, Supervisi, PKG, Admin Padamu Negeri, DP3, dan SKP. Artinya tugas-tugas yang berbau-bau teknologi informasi (penggunaan komputer maupun internet) akan dikerjakan oleh saya selain sebagai guru TIK.
Ketika pemberlakukan kurikulum 2013 dan pelajaran TIK sudah tidak diwajibkan lagi, kemudian di Kota Depok untuk tenaga non PNS dibayarkan melalui APBD sehingga tidak boleh merangkap jabatan, maka saya memutuskan untuk menjadi Operator Sekolah saja. Karena siapa lagi? Apakah ada tenaga PNS dari pemerintah? Pemerintah kan tak mau tahu, seluruh program harus berjalan sementara SDM nya tak disediakan. Disinilah pejabat PPK lalu merasa kekurangan SDM dan karena tuntutan kinerja, mereka terpaksa merekrut lagi orang yang bisa dijadikan tenaga honorer di sekolahnya. Artinya kan bukan karena nepotisme ! Belum lagi banyak guru PNS yang pensiun, dan lagi-lagi pemerintah tidak segera memberikan ganti PNS baru, akhirnya apa? Lagi-lagi kepala sekolah terpaksa merekrut tenaga honorer lagi. Salah siapa jika demikian? Program di sekolah-sekolah sebagai ujung tombak pendidikan yang merupakan bagian dari Kementerian Pendidikan (Pemerintah) kan harus tetap berjalan.
Mengapa tidak menggunakan tenaga lepas saja untuk tenaga kependidikan operator sekolah? Yakin tenaga lepas? Lalu hak akses ke aplikasi-aplikasi penting itu akan diberikan ke tenaga lepas? Tentu cukup berbahaya jika password-password itu jatuh ke tangan orang yang tidak terikat. Maka itu Disdik pun meminta Kepala Sekolah “mengikat” operatornya agar tidak mengundurkan diri ditengah jalan. Karena selain merepotkan sekolah, juga cukup membahayakan ketika akses-akses ke aplikasi Dapodik disalah gunakan. Misal, sekolah dirubah jadi tidak menerima BOS lagi, kepala sekolah di-TST-kan, guru atau siswa di mutasikan secara ilegal. Apa jadinya?
Saya berharap kepada Mas Menteri yang baru, selama ini anda telah berkorespondensi dengan para guru dan itu merupakan tindakan yang bagus. Namun, sempatkanlah anda untuk bertemu dengan tenaga kependidikan. Karena yang namanya dunia pendidikan tidak hanya ada tenaga pendidik, tapi ada juga tenaga kependidikan. Ini juga perlu lebih “dirangkul.” Coba kalau kemarin saja, saat deadline BioUN tenaga kependidikan dalam hal ini operator sekolah mogok kerja, bisa berantakan data peserta UN.
Harapan kami sebagai tenaga honorer sih tidak muluk-muluk, kami tahu diri dengan kapasitas kami. Kami tidak akan menuntut untuk diangkat sebagai PNS, cuma kami berharap bisa dipekerjakan sampai usia 60 tahun dan diberikan penghasilan yang lebih memadahi. Tak apa tidak diberi pensiun, karena kami tahu itu akan membebani keuangan negara di masa yang akan datang. Biar kami siapkan sendiri kehidupan masa tua kami setelah kami sudah tidak mengabdi lagi kepada negara yang kami cintai ini.
Dan juga jangan pernah katakan tenaga honorer lahir dari nepotisme, jikapun ada yang demikian dan saya rasa ada juga di kepegawaian lainnya.
Komentar
Posting Komentar
Jika berkenan, kamu bisa memberikan komentar disini, dan jika kamu punya blog, saya akan kunjung balik. (Isi komentar diluar tanggung jawab kami).